“Tio, kamu kenapa lagi?” sambil menghampiriku dan mulai menebak apa yang terjadi padaku. Kusambut pertanyaannya dengan erangan yang cukup keras. Nyeri itu tak kunjung reda.
Setelah mengetahui ada yang tak beres dengan perutku, dia mengambil tumpahan minyak kayu putih dan menggosokkan pada perut, telapak tangan, serta telapak kakiku. Tubuh kurasa semakin lemah. Aku tak mampu bereteriak lagi. Nyeri itu semakin tak tertahan. Mataku tak mampu melihat dengan jelas. Kabur. Hingga hanya warna hitam pekat yang kulihat.
Dering handphone mengusik ketenangan tidurku. Aku pun terbangun. Kulihat handphoneku. Dering itu berasal dari pengingat pesan yang sengaja diatur untuk membangunkanku pada jam 6 sore. Tertulis di sana, “Cepat bangun dan bersihkan tubuhmu agar terlihat lebih segar. Ada sebungkus nasi dan segelas teh hangat di samping komputer. Makanlah. Perutmu belum terisi sejak pagi. Jangan terlambat makan lagi. Dewa.” Kuletakkan handphoneku dan kuarahkan mata ke samping komputer. Ada sebungkus nasi dan segelas teh hangat disana.
“Huh, mencampuri hidupku saja.” kataku dengan ketus.
Kuamati posisiku dengan seksama. Aku berada diatas tempat tidur lengkap dengan selimut yang menutupi sebagian tubuhku. Bantal dan guling tertata dengan pas. Membuat posisi tidurku semakin nyaman. Nyeri diperutku juga menghilang. Aku mencium aroma minyak kayu putih disebagian besar tubuhku. Tumpahan minyak kayu putih dilantai juga telah bersih.
“Ini pasti kerjaan Dewa. Kenapa sih, selalu mengurusi kehidupanku!” aku berkata dengan nada kesal dan ketus.
Dewa adalah satu-satunya orang yang kukenal dirumah kos ini. Keegoisan dan ketidakpedulianku terhadap orang lain membuatku terasingkan. Namun, itulah aku. Toh, aku senang dengan hidupku. Aku tahu, aku bisa melakukan apa saja sendiri. Lalu, kenapa aku harus mngenal mereka? Aku mampu hidup dikos ini selama 2 tahun tanpa bantuan mereka. Aku juga mampu mendapat nilai baik, bahkan hampir sempurna di setiap mata kuliah tanpa bantuan siapa-siapa. Aku mampu mendapatkan berbagai gelar juara pada tiap lomba dengan segenap kemampuan yang kumiliki. Aku merasa bahagia dengan kesendirianku.
Bantuan dan kepedulian Dewa membuatku semakin membencinya. Aku merasa dia selalu mencampuri kehidupanku. Aku tahu, dia hanya pura-pura peduli terhadapku. Dia pasti punya tujuan tertentu. Dia menginginkan sesuatu dariku. Di dunia ini tidak ada orang yang mau rugi. Setiap perbuatan pasti menginginkan balasan keuntungan.
Secara fisik dan emosi, Dewa jauh berbeda dariku. Dia selalu terlihat bersih dan rapi. Giginya tertata dengan baik, putih dan bersih. Wajahnya selalu tampak segar dan cerah. Matanya selalu menatap dengan ramah dan ceria. Dia selalu berkata dengan sopan dan pelan penuh pengertian. Rambut yang dipotong rapi dipadu pakaian bersih dengan warna yang serasi menambah gagah postur tubuhnya.
Ketidakpedulianku kepada kebersihan dan kerapian semakin memperbesar jurang perbedaanku dengan Dewa. Kekerasan hati dan ketidakstabilan emosiku membuatku tampak bagaikan monster. Pertemuanku dengan Dewa bagaikan iblis bertemu malaikat. Tapi aku tak peduli dengan semua itu. Aku cukup senang dengan keadaanku sekarang.
Namun, sekilas bentuk fisik Dewa tak jauh beda denganku. Bentuk alis mata, hidung dan mulutnya mirip denganku. Tapi ingatanku mengenai keadaan fisikku mulai pudar. Aku tak ingat kapan terakhir kali aku bercermin. Dan…aku benar-benar tak tahu bagaimana sesungguhnya keadaanku sekarang. Tidak ada cermin dikamarku. Dan aku memang tak membutuhkannya.
Kebencianku kepada Dewa bukan tanpa alasan. Dia terlalu mencampuri kehidupanku. Jauh diluar batas. Tiap hari Dewa selalu membangunkanku jam 5 pagi. Memberikan senyum manisnya yang kubenci dan mengucapkan selamat pagi. Lalu menyuruhku untuk segera bangun dan mandi. Aku pun segera mengusirnya dengan kasar. Membanting pintu kamar dengan keras lalu menguncinya. Berharap aku bisa kembali tidur dengan tenang. Tapi dia tidak menyerah. Selama kurang lebih sepuluh menit, dia akan mengetuk pintu agak keras. Diiringi nasehat-nasehat busuknya. Dia mencoba menggugah hatiku untuk segera bergerak menyambut hari. Tak lupa, pesan untuk membersihkan kamar dan tubuhku dia teriakkan. Aku hanya diam tak bergerak. Kunikmati ocehannya layaknya lagu rock kesukaanku. Dan aku pun kembali tertidur lelap. Begitulah sarapanku selama dua tahun, dan mungkin akan terus begitu.
Kini aku berada di depan komputer. Kembali bermain game kesukaanku, setelah kulalap habis nasi dan teh hangat pemberian Dewa. Nyeri perutku pun telah hilang tak berbekas. Sungguh nyaman. Terkadang ada keinginan tuk mengucap terimakasih pada Dewa. Atas segala petolongan dan kepeduliannya padaku. Tapi kutepis jauh semua inginku itu. Tak pantas ku berkata sesopan itu padanya. Aku yakin, dia punya maksud tertentu dibalik semua perbuatannya untukku. Aku sangat yakin.
Entah kenapa, semakin lama aku melihat komputer, mataku semakin kabur. Perlahan namun pasti. Aku semakin tak jelas melihat. Badanku juga semakin panas. Tak kusadari, karena dingin yang kurasakan. Semakin tinggi suhu tubuhku, semakin dingin kurasakan. Aku mengigil. Kulempar stick gameku kasar. Kucoba raih selimut dan membalutkannya keseluruh tubuh. Tapi dingin tak kunjung berkurang. Kuusapkan minyak kayu putih keseluruh tubuhku. Biasanya aku sembuh dengan minyak ini. Namun, kini tubuhku tak bersahabat. Badanku semakin panas dan lemas. Kucoba gerakkan tubuhku perlahan ke arah tempat tidur. Aku butuh beristirahat. Mungkin aku kelelahan karena terlalu lama bermain game. Kubaringkan tubuhku pelan. Kututup mataku. Berharap tidur mampu sembuhkanku. Tapi semakin kucoba pejamkan mata, semakin dingin tubuh kurasa. Aku tak tahan. Namun aku tak tahu harus berbuat apa. Ingin ku berteriak. Mencari pertolongan. Ingin kusebut nama Dewa. Berharap pertolongannya kembali sembuhkanku. Tapi, aku urungkan niatku itu. Aku tak butuh dia. Aku mampu menghadapi ini sendiri. Aku mencoba tenangkan pikiran, meyakinkan hati, bahwa aku akan kembali sehat. Aku menutup mataku lebih erat. Tapi, rasa dingin ini semakin tak tertahankan. Semakin lama, semakin dingin. Aku tak sanggup lagi. Tanpa sadar, kuteriakkan nama Dewa. Berulang kali, dan semakin keras.
“Dewaaaa.....!!!Dewaaaaaaa.....!!!!”
Tapi sosoknya tak kunjung datang. Tak seperti biasanya. Tanpa menunggu tiga kali aku panggil, dia pasti datang bak pahlawan super. Entah ada apa dengnnya hari ini. Atau mungkin dia tak akan datang ke sini lagi. Tak tahan dengan sikapku. Aku pasrah. Kunikmati sakit ini. Mungin kini saatnya aku pergi. Tinggalkan dunia yang tak menyenangkan ini. Menuju surga keabadian. Tempat aku bisa mendapatkan apa yang aku inginkan. Tanpa perlu berteriak atau bersusah payah. Tanpa siapapun. Tanpa Dewa. Dan kurasakan tubuhku semakin lemah tak berdaya. Jiwaku terbang pelan dengan tenang.
***
Perlahan kubuka mata. Terangnya sinar menuntutku harus bersabar untuk melihat dengan jelas. Namun jelasnya suasana ruangan ini mengejutkanku. Semua serba putih. Apakah aku di surga? Kucoba gerakkan tubuhku. Ada sedikit sakit di sana. Kuamati ruangan ini dengan seksama. Ternyata aku berada di rumah sakit.
Namun tak ada orang yang menjagaku. Lalu siapa yang membawaku ke sini? Dewa? Ah, tak mungkin. Dia pasti telah pergi dan tak peduli lagi padaku. Kuputuskan untuk mencari tahu nanti setelah keluar dari sini. Saat ini kesehatanku lebih penting. Aku harus cepat sembuh. Sekarang saat yang tepat untuk beristirahat. Dan membuang jauh semua pikiran busukku.
Setelah tiga hari dirawat akibat demam berdarah, aku diperbolehkan meninggalkan rumah sakit. Badanku tampak lebih sehat dan segar. Perasaanku cerah ceria. Pikiranku jernih dan tenang. Kulangkahkan kakiku menuju tempat potong rambut terdekat. Kuingin sedikit merapikan rambutku. Karena tak tahu model rambut apa yang bagus, aku beritahukan model rambut Dewa kepada tukang potong rambut. Dia mengangguk menyanggupi dan mengatakan aku akan tampak lebih rapi dan tampan dengn model itu. Aku semakin bersemangat. Namun aku meminta tukang potong rambut untuk menutupi mataku dengan sehelai kain saat rambutku dipotong. Aku ingin merasakan perubahan ini. Kelahiran jiwaku yang baru.
Usahaku untuk tampil rapi dan bersih bukan tanpa alasan. Dokter menyarankan agar aku mengubah pola hidupku yang kotor. Mulai dari tubuh dan pikiran serta lingkungan sekitar tempat tinggal. Dokter juga berharap agar aku lebih ramah dan mencoba mencintai orang-orang yang ada di sekitar. Dia menegaskan, alasan Tuhan menciptakan manusia dalam jumlah banyak karena Tuhan tahu manusia tidak akan bisa hidup seorang diri tanpa bantuan manusia lain. Aku terkejut mendengar penuturannya. Nasehat itu menusuk jiwaku. Aku tertunduk dan menangis. Menyadari semua kesalahanku. Dan sejak itu kumantapkan hati untuk mulai berubah. Merubah jiwaku.
Tak sampai tiga puluh menit, tukang itu telah menyatakan selesai merapikan rambutku. Kubuka kain penutup mata. Lalu perlahan kubuka mataku. Aku terbelalak kaget. Aku melihat Dewa di cermin. Bukan. Itu bukan Dewa. Itu aku. Tapi, kenapa wajahku mirip dengan Dewa? Siapa Dewa sebenarnya? Apakah dia kembaranku? Tanpa berpikir lagi, aku berlari kencang menuju rumah kos setelah membayar ongkos potong rambut. Tak kuhiraukan hiruk pikuk jalanan. Aku ingin segera mengetahui siapa yang membawaku ke rumah sakit, dan siapa Dewa sebenarnya.
Sesampainya di rumah kos, aku bertemu dengan seseorang yang sedang asyik membersihkan kandang burung di depan kamarnya. Aku berkenalan dengannya dan meminta maaf atas ketidakpedulianku terhadapnya dan teman-teman kos lain selama ini. Dia selalu membalas perkataanku dengan ramah dan sopan disertai senyum hangat. Sungguh suasana yang menyenangkan. Belum pernah kumerasakan senangnya berbincang-bincang dalam waktu lama dengan orang ain. Ternyata keramahanku di balas seribu kali lebih ramah olehnya. Dan ini pasti berlaku juga ketika aku berbicara dengan semua orang. Lalu aku mencoba bertanya siapa yang membawaku ke rumah sakit. Dia mengatakan bahwa dialah yang membawaku ke rumah sakit. Aku memeluknya hangat. Dan mengucapkan terima kasih dengan tulus. Karena dia telah menyelamatkanku dari kematian. Namanya Doni. Dia tiga tahun lebih tua dariku. Namun dia tetap ramah menghadapiku yang jauh lebih muda darinya. Lalu aku bertanya apakah dia mengenal Dewa. Dari informasi yang diberikannya, tak ada nama Dewa di rumah kos ini. Aku terkejut mendengarnya. Lalu siapa Dewa sebenarnya?
Setelah lama berbincang dengan Doni, aku kembali ke kamar kosku. Mencoba merenung dan memikirkan Dewa. Mencoba mencari tahu identitasnya. Mungkin saja dia adalah teman lamaku. Kucoba tuk mengingat-ingat. Lima menit berselang, aku berlari kencang menuju kamar Doni. Aku memohon ijin meminjam cermin dengan sopan. Dia membalas dengan anggukan penuh senyum keceriaan. Kudekati cermin kecil didinding. Aku menatap wajahku dalam-dalam. Lalu aku tersenyum cerah, karena aku telah menemukan Dewa. Dia ada di dalam tubuhku. Menghuni jiwa baruku. Dewa adalah malaikatku yang akan selalu membawaku ke arah kebenaran dan kebaikan. Dewa adalah aku yang baru.
Kini aku merasakan kebahagian hidup yang sebenarnya. Kebahagiaan yang membuatku selalu ingin hidup lebih lama. Rasa ini mulai terasa ketika aku melakukan semua nasehat Dewa yang selalu ia teriakkan setiap hari. Perubahan yang membuatku bersahabat dengan kebersihan dan keramahan. Dan untuk membalas jasa Dewa, aku selalu mengawali hari dengan mengucap terima kasih padanya dan kepada Tuhan, tidak dengan berteriak, tapi dengan lembut penuh keikhlasan.
1 komentar:
salut dech buat qm ma reza yang doyan bgt nulis n' mmbaca....
hufh.... dua kegiatan tuch bakal aku lakuin klo mank di dunia nech dah g ada kegiatan laen
hwehehehehe
oia nech alamat blog aku
sapuijuk-blogqyu.blogspot.com
jangan lupa dicomment n’ jadi pengikutku y
ocreiiii…..
Posting Komentar